Membayangkan Masa Depan Media Digital Indonesia

Beberapa saat lalu, saya berkesempatan diwawancara oleh sebuah majalah marketing Indonesia untuk membicarakan usaha-usaha yang dikerjakan di dalam daerah marketing, branding, dan produk development. Dalam wawancara itu saya dan sang jurnalis mendiskusikan isu-isu industri fasilitas digital di Indonesia. Lalu terlihat satu pertanyaan yang sebenarnya telah kerap saya diskusikan dengan kawan-kawan pelaku industri fasilitas Indonesia. Namun kali ini pertanyaan yang sama itu membawa dampak saya berkontemplasi lebih lama.

Mungkin saya jadi banyak pertimbangan utuk menjawab dikarenakan yang menanyakan adalah seorang jurnalis yang punyai efek besar terhadap opini publik.

Atau, kemungkinan termasuk dikarenakan di dalam dua th. paling akhir ini lebih banyak fakta terkuak bahwa terdapat elemen-elemen kontradiktif antara pertumbuhan industri fasilitas digital yang amat optimistis secara makro atau agregat dibanding dengan tantangan bisnis fasilitas digital secara mikro.

Dari sudut pandang makro, proyeksi pertumbuhan fasilitas digital mampu diamati dari knowledge pertumbuhan periklanan digital di Indonesia dikarenakan lebih dari 80 prosen kontribusi revenue fasilitas digital dihasilkan dari jenis bisnis periklanan.

Menurut knowledge E-Marketer di th. 2020, total membeli iklan digital di Indonesia adalah sebesar 658,5 juta dollar AS atau sekitar Rp 9,5 triliun dengan proyeksi pertumbuhan di dalam 5 th. ke depan berada di angka rerata 12,2 prosen tiap tiap tahunnya. Pertumbuhan berikut didapat dari beberapa format iklan digital utama yakni display ad, search ad, dan classified ad.

Jika diamati dari angka agregat tersebut, maka kita mampu melihat betapa cerahnya jaman depan fasilitas digital di Indonesia dengan kesimpulan bahwa pertumbuhan periklanan digital tadi akan mampu dinikmati oleh perusahaan-perusahaan fasilitas digital kita. Namun untuk memvalidasi proyeksi pertumbuhan itu, kita mesti melihat lebih detail di level operasional perusahaan fasilitas digitalnya itu sendiri agar mampu lebih percaya bahwa sumber daya yang dimiliki perusahaan fasilitas digital mampu menyerap potensi bisnis yang tersedia di jaman depan.

Berikut ini adalah realitas-realitas mutlak di dalam operasional fasilitas digital yang perihal dengan periklanan digital:

Jejak awal periklanan programmatic mampu kita telusuri sejak th. 2000 ketika Google meluncurkan platform Iklan Adwords – sebuah platform iklan baris berbasis pencarian kata kunci di mesin pencari Google. Tahun 2013 perusahaan yang sama memperkenalkan AdSense atau biasa termasuk disebut Google Display Network (GDN) – sebuah platform iklan digital berbasis banner atau display yang ditaruh di semua situs di semua dunia di dalam jaringan Google.

Keberadaan AdSense merubah paradigma iklan digital agency jakarta  saat itu. Sebelumnya, iklan display dibeli segera dari pemilik websites. Transaksi antara pengiklan dan fasilitas berlangsung amat linear berubah jadi lebih kompleks. Maksudnya, pemasangan iklan dari satu pengiklan mampu dikerjakan terhadap banyak fasilitas atau halaman situs di dalam satu transaksi. Pendekatan jejaring ini terlalu mungkin pengiklan menyasar target audience berdasarkan demografi, kata kunci di search engine dan behavioral simple bukan kembali berdasarkan medianya itu sendiri.

Namun arti programmatic baru dilekatkan terhadap platform periklanan berbasis jejaring ini ketika Yahoo meluncurkan platform Real Time Bidding (RTB) pertama di th. 2007 lewat anak perusahaan mereka yang bernama Right Media.

Setelah Yahoo, perusahaan-perusahaan digital lain pun turut mengembangkan platform RTB masing-masing termasuk Google AdeX, Microsoft AdECN, AdMeld, Pubmatic, Rubicon Project dan OpenX. Platform RTB terlalu mungkin para pemasang iklan yang terkoneksi di dalam platform Demand Side Platform (DSP) untuk jalankan pembelian inventory iklan di dalam proses lelang real-time dari fasilitas atau situs yang terkoneksi dengan platform Supply Side Platform (SSP).

Premis dari proses ini adalah bahwa para pengiklan mampu jalankan kampanye dengan lebih efisien dengan target audience yang lebih akurat, di dalam skala yang amat besar dan yang lebih mutlak adalah eksekusi kampanye mampu dioptimisasi untuk meraih performa yang lebih baik. Sederhananya (atau kemungkinan tidak jadi sederhana), periklanan programmatic dengan RTB ini membawa kemiripan mekanisme dengan proses pasar modal ketika pengiklan berperan sebagai investor dan fasilitas berperan sebagai penjaja produk investasi. Artinya, di dalam ekosistem ini harga inventori fasilitas ditentukan oleh supply & demand (mekanime pasar).

Dari sudut pandang perusahaan media, periklanan programmatic mampu diamati sebagai alat growth hacking monetisasi digital dikarenakan tidak perlu sumber daya banyak untuk meraih revenue dari proses ini dan seringkali perusahaan fasilitas memosisikan programmatic layaknya “passive income”.

Namun, di segi lain tersedia ancaman sustainability yang mengendap-ngendap dikarenakan perusahaan fasilitas kehilangan pemeriksaan untuk pilih harga jual produknya sendiri. Ancaman ini makin lama terlihat tahu ketika di th. 2020 Pubmatic – sebuah perusahaan teknologi periklanan berskala world – memberitakan bahwa membeli iklan programmatic di Indonesia telah menggapai angka 500 juta dollar AS (Rp 7,2 triliun), yang berarti telah menggapai 76 prosen dari total membeli iklan digital Indonesia. Rasio pertumbuhan periklanan programmatic pun cukup mengagumkan di angka 54 prosen di th. 2020.

Makna lebih pahit dari angka -angka berikut adalah bahwa telah sebesar itulah perusahaan-perusahaan fasilitas digital di Indonesia kehilangan pemeriksaan atas harga produk mereka sendiri. Realitas Kedua: Harga Inventori Media di dalam Ekosistem Periklanan Programmatic Jika kita telisik lebih di dalam knowledge di dalam ekosistem periklanan programmatic yang makin lama tumbuh merajalela tadi, kita akan melihat tantangan berlapis untuk perusahaan fasilitas Tanah Air.

Transaksi iklan di dalam platform programmatic terhadap biasanya berlangsung di dalam satuan CPM (cost per mile), yakni harga ditentukan atas terjadinya 1.000 impresi iklan atau di dalam satuan CPC (cost per click), yakni harga ditentukan atas terjadinya 1 klik iklan.

Di segi perusahaan fasilitas terhadap biasanya menganalisis performa revenue iklan programmatic di dalam basis CPM saja dikarenakan impresi iklan masih mampu dikontrol sedangkan klik iklan yang notabene diinisiasi audiens tidak mampu dikontrol. Dikarenakan tidak semua impresi iklan yang dimiliki fasilitas mampu terjual maka perusahaan fasilitas mengfungsikan satuan metriks eCPM (effective cost per mile) yang merupakan rasio total revenue berbanding total impresi iklan yang tersedia.

Satuan eCPM inilah yang digunakan perusahaan fasilitas digital di semua dunia sebagai satuan harga inventori iklan. Data eCPM agregat industri sayangnya tidak mampu diakses publik, tetapi kita mampu melihat knowledge yang dimiliki group fasilitas digital terbesar di Indonesia KG Media sebagai referensi. Menurut data, eCPM KG Media di dalam 3 th. terahir mengalami penurunan cukup signifikan antara 15 prosen – 27 prosen tiap tiap tahunnya.

Angka penurunan berikut terkecuali dikalikan dengan pertumbuhan iklan programmatic tadi maka mampu dibayangkan betapa signifikannya penyusutan revenue yang akan dihadapi perusahaan fasilitas di dalam tahun-tahun berikutnya terkecuali perusahaan fasilitas digital tidak jalankan inisiatif-inisiatif strategis untuk mengantisipasi.

Realitas Ketiga: Tidak Ada Content Premium Dalam Ekosistem Programmatic Saya ingat betul di th. 2008 – 2010 ketika masih berprofesi sebagai fasilitas planner di sebuah agency periklanan, saya masih mesti jalankan banyak negosiasi harga untuk menempatkan iklan di sebuah fasilitas dengan merek yang telah dikenal punyai kredibilitas baik.

Harga iklan di media-media berikut masuk di dalam kategori premium dengan harga yang lebih tinggi dibanding fasilitas atau inventori lain. Bahkan untuk beberapa media, saya mesti berebut daerah dengan pemasang iklan lain yang berkenan membayar tinggi untuk inventori premium tersebut. Situasi layaknya itu nampaknya telah berubah sejak kehadiran platform programmatic. Karena programmatic berbentuk fasilitas agnostic dengan skala yang amat besar, platform periklanan programmatic menyerahkan pemilihan harga iklan terhadap mekanisme supply & demand tanpa mempedulikan kualitas merek fasilitas atau kualitas konten.

Secara natural pemasang iklan kemungkinan bersedia membayar lebih mahal atas performa inventori iklannya bukan terhadap konten di mana iklan berikut melekat. Hal ini pastinya kontradiktif dengan kenyataan operasional di perusahaan fasilitas di mana untuk memproses konten memiliki kualitas pastinya memerlukan investasi yang lebih mahal dan ketika value yang diciptakan tidak berkorelasi dengan sumber revenue utamanya. Maka mampu diambil kesimpulan bahwa keberlangsungan konten-konten memiliki kualitas sedang mengalami persoalan yang cukup mendasar.

Dari tiga realitas di atas timbul pertanyaan: Apakah business jenis periklanan digital mampu jadi sandaran keberlangsungan fasilitas digital dengan konten yang berkualitas? Pertanyaan yang jauh lebih esensial datang dari media-media berita: Apakah business jenis periklanan mampu mendukung keberlangsungan jurnalisme? Pertanyaan paling akhir ini jadi amat mutlak untuk kita acuhkan bersama.

Topik mengenai keberlangsungan jurnalisme ini jadi katalis yang meleburkan dinding api (firewall) antara bisnis fasilitas dan jurnalisme (sederhananya: urusan redaksional) yang selama ini dijaga ketat kesterilannya. Bahkan katalisasi berikut mampu menyebar ke ranah yang lebih lebar yakni keberlangsungan demokrasi negara kita dikarenakan ketika jurnalisme runtuh maka eksistensi demokrasi termasuk akan terancam. Kembali kembali ke pertanyaan awal dari postingan ini:

Bagaimana jaman depan fasilitas digital di Indonesia? Jawabannya amat bergantung terhadap prinsip pemangku kepentingan industri fasilitas untuk mengambil kembali pemeriksaan bisnis fasilitas yang saat ini terkikis dengan begitu cepat. Saya selalu teringat pengakuan CEO Kompas Gramedia, Lilik Oetama, di dalam salah satu pidatonya di th. 2017: “Untuk membuahkan jurnalisme yang independen, maka perusahaan fasilitas mesti mandiri pula secara finansial”.